(Cerpen) Kidung Kenanga

Kenanga baru tahu, rasanya dikritik oleh orang yang dicintai itu begitu perih. Sedih dan terluka mungkin tak cukup menggambarkan kepedihan hati Kenanga. Sambil mencuci piring, pikirannya terbayang ke kejadian semalam,

“Percuma, mau latihan berapa kali pun di depan radio atau di depan kaca, suaramu tidak semerdu penyiar radio!” ucap Cakra pada Kenanga dan langsung mendekati radio untuk memutus sambungan listrik ke radio.

Desain oleh: Viana Wahyu

Kenanga seketika terdiam. Dia yang semula mengikuti nada penyiar radio kesukaannya di radio jadul warisan bapaknya, seperti terkena palu raksasa yang sukses meremukkan kekuatannya. Kenanga memilih diam agar suaminya tidak semakin marah yang sungguh akan sangat fatal jika sampai radio jadulnya sampai rusak karena kemarahan suaminya.

Mungkin memang terlambat jika Kenanga baru menyukai berbicara di depan umum saat dia telah menikah. Waktu kuliah dan sekolah dia begitu pemalu dan tak pernah ikut organisasi. Pelajaran diskusi, berbahasa atau yang harus dilakukan dengan maju ke kelas adalah momok baginya.

Namun, waktu belakangan ini Kenanga merasa nyaman dengan mencoba bicara dengan lebih baik. Lagipula dia merasa berbicara di depan umum dari radio sepertinya tidak semenakutkan ketika harus melihat wajah banyak orang. Awalnya dia hanya iseng menyalakan radio peninggalan bapak dan bertemu dengan suara-suara merdu. Seterusnya Kenanga merasa punya teman saat di rumah mengerjakan tugas domestik. Berikutnya Kenanga jadi hafal dan menirukan bicara ala penyiar radio.

Pernikahan Kenanga dan Cakra yang hampir menginjak dua puluh empat purnama masih belum dikaruniai buah hati. Hal itu pula yang akhirnya membuat Kenanga diminta berhenti bekerja oleh Cakra. Suaminya sering pulang sebulan sekali karena bekerja di luar pulau. Hal itu pula yang memotivasi Kenanga untuk bisa bersuara merdu dan indah ketika tersambung dengan Cakra di telepon saat mereka terpisah jarak.

Sungguh tak disangka laki-laki yang diterimanya untuk menjadi pendamping hidup tega mengatakan hal yang menyakiti hatinya. Lelaki yang diharapkannya akan mewarisi juga kebaikan dan kelembutan budi seperti tokoh wayang favoritnya, Krisna. Meskipun Cakra adalah nama senjata Sang Krisna, tetapi setidaknya Kenanga berpikir yang penting masih ada kebaikan karena Cakra juga masih menjadi bagian dari Krisna. 

Salah. Salah. Salah. Kenanga merutuki dirinya sendiri. Sambil menyelesaikan membilas piring terakhir, air matanya menetes. 

Cakra sudah kembali ke tempatnya bertugas setelah makan pagi bersama Kenanga. Kesendirian dan kepedihan di rumah, membuat Kenanga kembali ingin memutar radio kesayangannya. 

Ya, memang suaraku tidak semerdu penyiar radio, Mas, tetapi apa salah kalau aku ngikutin gaya penyiar radio? Yang hanya dari suaranya aja, tanpa terlihat wajah, orang bisa suka dan mau mendengarkan suaranya berjam-jam, batin Kenanga lagi. Apalagi Kenanga juga ingat banget ketika cerita bapak dan ibu yang ngikutin sandiwara radio. Meskipun tidak paham ceritanya tetapi audionya asyik dan menarik banget.

Tetapi keinginan Kenanga berubah menjadi kekhawatiran ketika radio jadul Kenanga tak bisa berbunyi meskipun sudah disambungkan ke listrik. Diputar-putar pun tetap saja Kenanga tidak mengerti tentang mesin radio.

Hanya radio itu satu-satunya benda yang tersisa dari bapak. Radio yang pernah menjadi masa keemasan bapak di saat muda ketika menjadi penyiar radio. Walau menurut Kenanga, dirinya tidak memiliki suara empuk dan merdu, tetapi bapak tidak pernah memaksanya untuk belajar berbicara seperti beliau. 

Kenangan masa kecilnya kembali terputar. Entah apa yang membuatnya menjadi berani saat menjadi satu dari beberapa anak yang menjadi perwakilan sekolah untuk siaran radio. Ya, saat di sekolah dasar, Kenanga terpilih untuk membaca puisi di radio dalam sebuah acara radio daerah yang mengundang sekolahnya.

Bapak dan ibu tetap bertepuk tangan dan mendukungku walaupun suara saat membaca puisi di kelas empat SD mungkin biasa saja, batin Kenanga. Apakah aku begitu salah kalau berlatih berbicara? Ataukah suaraku sangat mengganggu Mas Cakra? Ataukah …?

Ah, engga mungkin Mas Cakra yang membuat radio ini jadi kenapa-kenapa. Bisa jadi memang sudah waktunya perlu perbaikan, gumam Kenanga.

Kenanga akhirnya membuka radio di ponselnya. Dia mencari stasiun radio yang menyiarkan acara curhat. Hingga akhirnya terlintas dalam pikirannya untuk iseng menelepon ke radio, sekadar untuk berbagi rasa dan juga siapa tahu dia bisa mendapat tips untuk berbicara yang baik.

Maju mundur jari Kenanga memencet layar ponsel untuk menekan panggilan. Hingga akhirnya diberanikan diri untuk berbicara saat panggilan tersambung dan langsung masuk ke acara radio.

Kenanga gelagapan. Namun, matanya tertumbuk pada foto bapak yang berada di meja radio jadul. Melihat bapak jadi membangkitkan kekuatan Kenanga. Dengan mengatur napas, Kenanga berusaha untuk menormalkan debaran hatinya. 

“Halo, dengan siapa di mana?” sapa Iswara, penyiar radio perempuan favoritnya. Suara empuk dengan nada yang begitu teratur dan artikulasi yang baik itu terasa seperti sambutan ramah.

“Ke …” Kenanga sadar untuk tidak usah menyebutkan nama aslinya untuk di program radio. “Dengan Mawar, Kak,” jawab Kenanga. Dia pun berpikir untuk sedikit mengubah suaranya agar tidak terlalu dikenali, meskipun dia sendiri pun tidak yakin siapa yang akan mengenalinya.

“Baik, Kak Mawar di mana?” tanya Iswara lagi.

“Di Bekasi, Kak,” kali ini Kenanga berkata jujur.

Kemudian mengalirlah cerita Kenanga meskipun agak terjeda-jeda di beberapa pernyataan atau cerita karena sambil mengatur suara. Dia menyampaikan bagaimana kesedihannya menghadapi suaminya, yang melarangnya untuk menjalani sebuah kebiasaan baru untuk berlatih public speaking. Usai curhat, hati Kenanga terasa lebih lega ditambah dengan saran dan tips untuk belajar bicara dari penyiar Iswara.

Okelah, aku akan berusaha membahagiakan diri sendiri dulu. Jika aku bahagia, dunia di sekelilingku pasti ikut bahagia, batin Kenanga.

“Halo, Sobat Perempuan FM di manapun berada. Ketemu lagi di program Kata Hati bersama Kenanga yang akan menemani Sobat Perempuan selama satu jam ke depan. Bukan cuma bakal ngobrol atau curhat, tetapi kita juga akan mendengarkan sapaan lagu-lagu. Boleh juga untuk berkirim salam …” kata Kenanga.

Bersamaan dengan itu terdengar suara, “Assalamualaikum” dan ketukan di pintu utama.

Kenanga terkesiap karena mendengar suara laki-laki. Biasanya jika kurir paket engga pakai salam dan langsung menaruh barang di tempat yang tersedia. Sayup-sayup Kenanga seperti mendengar suara Cakra.

Setelah mengintip dari balik tirai, betapa kagetnya saat mengetahui memang benar Cakra yang berada di depan pintu.

“Waalaikumussalam, Mas. Lho kok apa ada yang ketinggalan, Mas?” kata Kenanga sambil mencium tangan suaminya.

“Iya, Ken ada yang ketinggalan,” jawab Cakra sambil menggandeng tangan Kenanga dan memintanya duduk di sofa ruang tamu. “tunggu sini, ya,”

Cakra bergegas masuk ke dalam kamar dan keluar dengan menaruh kedua tangannya di belakang punggung.

“Mas minta maaf ya,” kata Cakra sambil berlutut dan memberikan setangkai bunga mawar pink kesukaan Kenanga. 

Mata Kenanga berkaca-kaca dan ia hanya menjawab Cakra dengan anggukan kepala.

Tanpa diketahui Kenanga, Cakra mendengar curhatan Kenanga dari radio yang diputar oleh pengemudi taksi online dalam perjalanannya ke bandara. Cakra juga mengenali suara Kenanga yang seolah dibuat-buat berbeda. Begitu mendengar suara Kenanga dia segera meminta taksi online untuk kembali ke rumah. Dia merasa menyesal begitu marah pada Kenanga yang keasyikan belajar bicara sampai tidak mengacuhkannnya kemarin malam.

Hati Kenanga kini berbunga-bunga. Selepas mengantar Cakra pergi lagi, begitu masuk ke rumah dan melewati ruang keluarga, tiba-tiba saja kembali terdengar suara dari radio jadul milik Kenanga.

*Selesai*


Penulis: Viana Wahyu (IP Depok)



Post a Comment for "(Cerpen) Kidung Kenanga"