(Cerpen) Renjana Saka

17 Agustus ini Arum sama sekali tidak pernah berharap laki-laki masa lalu itu hadir lagi, meskipun dalam mimpinya. Beruntung suaminya tidak mengetahuinya, dan jangan sampai tahu.

Arum terbangun dengan kaget dari tidurnya. Bagaimana bisa sosok dari masa lalunya hadir tanpa permisi dalam mimpinya. Beruntung Arum tidak berteriak sehingga membangunkan suami di sebelahnya.


Renjana Saka
Desain: Viana Wahyu


“Boleh aku memegang tanganmu, Rum?” kata Ranu yang mengejarnya dalam mimpi dan hendak meraih kedua tangan Arum.

Apakah Ranu merindukannya hingga dia bisa masuk ke dalam mimpinya? Arum berkali-kali menggeleng seolah mengusir bayangan Ranu dalam bunga tidurnya. Mitos yang pernah didengarnya adalah kalau mimpi seseorang, maka seseorang itu sedang merindukannya. Dia sama sekali tidak membayangkan atau memikirkan laki-laki itu, kakak kelas sewaktu di kuliah. Ranu dan Arum pernah berada di BEM kampus. 

Hingga suatu ketika Ranu pernah mengiriminya surat. Arum sebenarnya menaruh hati pada Ranu, tetapi keinginan untuk lulus kuliah lebih besar daripada membalas perasaannya pada Ranu. Lagipula dia tidak menginginkan pacaran.

Sejak Ranu lulus mereka sudah tidak pernah lagi berkomunikasi. Lebih tepatnya Arum yang menghindar. Hingga datanglah undangan pernikahan Ranu. Teman-teman alumni BEM serempak ingin menghadirinya. Mau menolak dengan beragam alasan pun Arum tidak bisa, karena memang alasannya seolah mengada-ada, apalagi mereka dulu pernah dekat selama di BEM.

Antara patah hati, sedih, dan menyesal bercampur dalam hati Arum saat melihat Ranu bersanding dengan perempuan pilihannya dengan upacara pedang pora. 

“Selamat ya, Bang,” ucap Arum di pelaminan tanpa menatap mata Ranu yang tajam seperti elang.

Kelebat masa lalu hadir tanpa diminta. Dengan mendengkus, Arum turun dari tempat tidurnya. Kakinya menyenggol Satya dan membangunkan laki-laki yang menikahi Arum tepat di hari lahirnya. Lelaki yang dikenalnya saat KKN dengan segala bentuk perhatiannya. Dan yang membuat Arum menerima Satya adalah sikap tanggung jawab serta kepiawaian Satya menanggapi beragam argumen Arum. Dia merasa satu frekuensi dengan Satya.

“Sudah bangun, Dek? Pagi sekali bersiap untuk anak kita dan 17-an?” kata Satya dengan senyum. Selalu tersungging senyum ketika laki-laki yang beralis tebal dengan iris mata yang hitam dan bundar itu mengawali hari. Satu hal yang menjadi peneduh hati Arum yang seringkali bangun dengan tergopoh-gopoh karena lengkingan alarm.

Arum menepuk dahinya. Dia baru sadar kembali bahwa bangun pagi hari ini adalah untuk bersiap di tanggal istimewa. Anindya, gadis semata wayang Arum dan Satya akan menjadi pengibar bendera merah putih sebagai bagian dari paskibraka di kota mereka.

Setiap tanggal 17 Agustus Arum memang selalu menyiapkan tumpeng untuk keluarganya dan juga memasak sesuai pembagian warga lingkungannya. Sehari sebelumnya Arum telah memasak bagiannya di RW untuk membuat sambal goreng hati. Yang lebih penting lagi adalah mereka selalu menemani neneknya Satya untuk menyaksikan upacara bendera di televisi.

Keluarga Arum tinggal bersama dengan Nenek Sumi, nenek dari keluarga Satya. Ibu Satya sudah wafat sebelum Satya menikah, dan sejak itu Satya berjanji akan selalu merawat neneknya.

Nenek Sumi pun semakin bahagia saat mengetahui Anindya menjadi paskibraka. Setiap melihat Anindya, Nenek Sumi selalu terbayang Kakek Wira yang gugur saat bertugas sebagai tentara Indonesia. Setidaknya kali ini Nenek Sumi tidak akan menangis sedih seperti 17-an biasanya, tetapi mungkin menangis terharu karena Anindya.

Namun, entah mengapa pagi itu perasaan Arum tidak nyaman. Pada Satya, Arum hanya bilang jika dia baru saja mimpi buruk. Mimpi yang tak akan pernah diceritakannya pada Satya. Apalagi antara Arum, Satya, dan tentu saja Ranu berada di almamater yang sama.

Gedubrak!!

Arum dan Satya segera berlari ke kamar mandi. Nenek Sumi terjatuh dengan terduduk di lantai. Beruntung Nenek masih sadar dan kepalanya tidak terbentur dinding, tetapi beliau sakit untuk berdiri. Satya dan Arum bersegera membawa Nenek ke rumah sakit.

“Dek, kalau mau ke rumah dan bersiap untuk acara Anindya gapapa. Mas yang akan menunggu nenek di sini,” ucap Satya dengan suara baritonnya yang menenangkan. Dokter telah memeriksa Nenek dan perlu rangkaian pemeriksaan lagi untuk memastikan kondisi Nenek. 

Arum mengangguk sambil bergantian melihat Satya dan Nenek Sumi.

“Mas percaya Adek tahu yang terbaik,” ujar Satya dengan tersenyum dan memberikan kunci mobil pada Arum, “hati-hati di jalan, ya”. Genggaman tangan Satya pada Arum lagi-lagi membuat kilasan mimpinya datang lagi. Mirip sekali. Sebuah kecupan di dahi Arum membuat hatinya hangat. Dia ingin membenamkan wajahnya pada pelukan Satya, tetapi terlalu malu untuk melakukannya di depan Nenek.

“Nek, Arum ketemu sama Anindya dulu ya, insyaallah Arum rekamkan videonya nanti,” ucap Arum dengan hati-hati mencium tangan nenek. 

Meskipun tidak mengebut, tetapi beruntung Arum masih ada waktu sebelum jam tujuh untuk pulang ke rumah. Menitipkan tumpeng untuk warga dan berganti baju dengan kebaya cokelat muda dan kerudung senada. Dibawakannya juga batik Satya dengan warna serupa dan juga baju ganti nenek.

Sayangnya Arum terlambat sampai di tempat upacara. Dia tidak sempat merekam detik-detik saat Anindya mengibarkan bendera. Arum hanya sempat memotret dan memvideo setelah Anindya berada kembali di barisan.

Baru saja Arum akan menutup gawainya, ada pesan masuk dari Satya. Salam ya untuk Anindya kita yang pasti tambah cantik hari ini

Hati Arum bagaikan gerimis di hari yang cerah. Ternyata ini jawaban dari perasaan yang tidak nyaman dirasakannya. Mulai dari mimpi yang aneh, Nenek masuk rumah sakit, Satya tidak bisa mendampinginya di hari istimewa, dan juga dia terlambat merekam Anindya dari kursi undangan.

Beruntung masih ada kesempatan bagi Arum untuk bertemu sesaat dan melepas rindu pada puteri semata wayangnya. Disampaikannya salam dari Satya dan Nenek Sumi, tetapi dirahasiakannya kondisi Nenek. 

“Kenapa Ayah tidak bisa datang, Bunda?” ucap Anindya lembut sambil mengajak berswafoto dengan ponsel Arum.

Pertanyaan yang halus tetapi sulit untuk dijawab Arum. Hatinya gamang antara berterusterang pada Anindya atau tetap menyimpannya sampai Anindya benar-benar selesai bertugas hari ini.

“Doakan Nenek ya, insyaallah Nenek baik-baik saja. Hanya butuh istirahat ditemani Ayah,” akhirnya jawaban itu yang meluncur.

Mata Anindya yang bulat dengan bulu mata lentik seperti Arum seakan ingin tahu lebih dari jawaban Arum. Namun, sudah ada pemberitahuan bahwa Anindya dan semua paskibraka harus segera kembali ke asrama untuk bersiap upacara penurunan bendera sore hari.

Arum melambai ke arah Anindya sambil merekamnya. Matanya menghangat dan butiran air mata berkumpul di sudut matanya. 

Arum terkejut saat seorang pemuda berbadan tegap dan lebih tinggi menghampiri Anindya. Laki-laki itu memberikan buket bunga untuk Anindya. Tentu saja kejadian itu masih terekam olehnya.

“Maaf, Tante bundanya Anindya ya?” sapa pemuda yang tadi menghampiri Anindya dan kini berada di depan Arum, “tadi saya sempat melihat Tante berpelukan dengan Anin.”

“Oh, iya,” buru-buru Arum menghapus butiran air matayang hendak jatuh, “saya Bundanya Anindya.”

“Salam kenal ya, Tante, saya Danendra. Kakak kelasnya Anin di sekolah dan paskibraka tahun kemarin,” ucap Danendra, “dan ini Ibu saya.” 

Arum terkesiap saat melihat perempuan manis di depannya membawa bingkai foto berseragam TNI. Biasanya keluarga TNI yang telah gugur akan membawa foto seperti yang dilihat Arum. Tertulis nama di bagian bawah foto, Mayor Ranu Janardana. Hatinya mencelos. Bayangan mimpinya hadir lagi. 


*TAMAT*


Penulis: Viana Wahyu (IP Depok)

*Haturnuhuun, Mak Y dan Bun A atas infonya sebagai pendukung cerpen ini yaa 🥰












Post a Comment for "(Cerpen) Renjana Saka"